Ini Kata Pakar, Alasan Peringkat Kopi Indonesia Stagnan
Kopi Bara – Sampai awal 2023 Indonesia tercatat sebagai penghasil kopi dunia. Berdasarkan peringkat dunia, Indonesia menempati peringkat 3 d bawah Brazil (peringkat 1) dan Vietnam (peringkat 2). USDA – Departemen Pertanian Amerika Serikat mendata, Brazil mampu memproduksi kopi sebanyak 63 juta karung, Vietnam 29 juta karung, dan Indonesia 11 juta karung. Untuk diketahui, 1 karung setara 60 kilogram biji kopi.
Peringkat internasional ini mengartikan Indonesia hanya peringkat 2 di level Asia Tenggara. Indonesia yang secara wilayah lebih luas dari Vietnam, mestinya unggul secara kuantitas. Uniknya, Vietnam menjadi peringkat 2 internasional meski berfokus pada varian Robusta. Indonesia yang memiliki varian Arabika dan Robusta, nyatanya gagal menyaingi Vietnam.
Pencapaian Indonesia yang masih di bawah bayang-bayang Vietnam, mendapat komentar Helmy Amien – praktisi kopi dari Jakarta Coffee Learning. Helmy menyatakan, masalah utama komoditi kopi Indonesia adalah produktivitas.
‘Produktivitas dalam satu lahan di Indonesia masih rendah’, kata Helmy. Meski rendah, ia optimis pemanfaatan lahan kopi di Indonesia membaik. belum mampunya Indonesia menjadi penghasil kopi terbesar di dunia juga tidak ada kaitannya dengan kualitas.
Menurut Helmi, karakter rasa kopi Indonesia paling susah disamakan dengan kopi luar. Indonesia belum mampu menjadi penghasil kopi terbesar di dunia, juga tidak ada kaitannya dengan kualitas. Menurut Helmi karakter rasa kopi Indonesia paling susah disamakan dengan kopi luar.
Helmi menambahkan, masyarakat kopi di Indonesia tidak perlu memikirkan peringkat internasional. Meski secara peringkat Indonesia stagnan, pertumbuhan kopi lokal menggeliat.
‘Harus diingat kopi Indonesia baru kembali tumbuh lagi loh. Yang kerennya, serapan pasar nasional itu lebih tinggi dibanding ekspor. Memang untuk ekspor kita belum banyak karena terkait juga peraturan-peraturan dan standar yang berbeda-beda, tapi pasar lokal kita lagi seksi-seksinya, dan ini menurutnya lebih baik karena resiko lebih rendah,’ kata Helmi.